Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, lahir di Lhokseumawe, Aceh Utara pada 10 Maret 1904 (Jumadil Akhir 1321). Ibundanya bernama Tengku Amrah merupakan putri dari seorang pejabat tinggi, Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi, sedangkan ayahnya bernama Tengku Muhammad Husen bin Muhammad Su’ud seorang loyalis ulama besar Aceh. Hasbi dibesarkan di lingkungan keluarga ulama, pejuang, dan pendidik, Ia memiliki darah campuran Aceh-Arab, dan jika ditelusuri nasabnya bersambung dengan Abu Bakar ash-Shiddiq ke-37, dan inilah merupakan alasan kenapa nama belakang beliau di tambahkan “ash-Shiddieqy”.
Ketika usia Hasbi 6 tahun, ibunya meningggal dunia (1910). Kemudian, ia diasuh oleh bibinya yang bernama Tengku Shamsiyah. Tak lama setelah ibunda Hasbi meninggal, bibinya wafat pula. Sejak meninggal Tengku Shamsiyaah tahun 1912, Hasbi memilih tinggal di rumah kakaknya, Tengku Maneh, bahkan sering tidur di meunasah (langgar/surau) sampai kemudian dia pergi meudagang (nyantri) dari dayah ke dayah. Sejak remaja, Hasbi sudah dikenal luas oleh masyarakat Aceh, karena ia sudah aktif berdakwah dan berdebat dalam diskusi-diskusi. Dia dipanggil Tengku Muda atau Tengku di Lhok. Hasbi menikah pada usia 19 tahun dengan seorang wanita bernama Siti Khadijah, gadis yang masih ada hubungan kekerabatan dengannya. Perkawinan dengan gadis yang merupakan pilihan orangtua nya ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal ketika melahirkan anak yang pertama. Kemudian Hasbi menikah lagi dengan wanita bernama dengan Tengku Nyak Asiyah binti Tengku Haji Hanum, saudara sepupunya. Dengan istrinya inilah Hasbi mengayuh bahtera hidupnya sampai akhir hayat. Dari perkawinannya ini Hasbi memiliki empat anak, dua laki-laki dan dua perempuan.
Sejak kecil ia telah belajar di berbagai dayah(pesantren) di Aceh, mendalami ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh, dan bahasa Arab. Ia menuntut ilmu selama sekitar 12 tahun di beberapa dayah ternama, antara lain Dayah Bluk di Bayu, Dayah Balng Kabu, Meunasah Manyang di Semekuro, dan Dayah Tanjung Barat di Semalungung. Setelah mendapatkan ijazah, Hasbi membuka dayah sendiri pada usia 21 tahun di Buloh Beureugang. Ia juga memperdalam bahasa Arab kepada Syekh al-Khalili, dan atas anjuran gurunya, melanjutkan studi ke Madrasah Mu’allimin al-Irsyaddi Surabaya. Setelah lulus, ia kembali ke Aceh untuk mengamalkan ilmunya.
Tahun 1924, Hasbi pertama kali mendirikan madrasah di Buloh Beureughang dengan dukungan Tengku Raja Itam, madrasah tersebut ditutup karena ia melanjutkan studi ke Al-Irsyad Surabaya (1926). Setelah menyelesaikan studinya, di tahun 1928, ia mendirikan madrasah al-Irsyad bersama Syaikh al-Kalali, namun madrasah di tutup karena dianggap masyarakat sebagai sekolah kafir. Ia lalu mendirikan madrasah al-Huda, dan juga ditutup karena kurangnya dukungan.
Hasbi mengajar di berbagai sekolah, termasuk HIS/MULO Muhammadiyah, JIBDA, Ma’had Iskandar Muda (1941), dan mendirikan Darul Irfan (1940). Pada 1951, ia pindah ke Yogyakarta mengajar di PTAIN kini UIN, lalu menjadi guru besar dan Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga (1960–1972). Ia juga mengajar di UII, Unisula (Dekan, 1967–1975), serta menjadi rektor di Al-Irsyad Surakarta dan Universitas Cokroaminoto. Aktivitasnya berakhir saat wafat pada 9 Desember 1975 ketika berusia 71 tahun.
Beberapa Karya Intelektual Hasbi diantaranya: Rangkuman Hadis, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 2002 Mutiara Hadis, terdiri dari 8 jilid, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, 2 jilid, Problematika Hadis Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Ahkam al-Nabawiyah, 11 jilid, Ridjalul Hadis, Sejarah Perkembangan Hadits, Kriteria Antara Bid’ah dan Sunnah.
Nama : Alfin Hidayatullah
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan