KH. Mahfudz Shiddiq lahir di Jember, Jawa Timur, pada 10 Mei 1907. Ia merupakan putra dari KH. Muhammad Shiddiq, seorang ulama besar pendiri Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah. Dalam lingkungan keluarga yang sarat nilai-nilai keislaman dan perjuangan, KH. Mahfudz Shiddiq tumbuh menjadi sosok yang haus akan ilmu. Pendidikan pertamanya ia peroleh langsung dari ayahnya sebelum kemudian melanjutkan belajar di Pesantren Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan langsung Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Sejak muda, KH. Mahfudz Shiddiq menunjukkan kecerdasan di atas rata-rata. Ia tidak hanya menguasai ilmu-ilmu agama, tetapi juga memiliki kemampuan bahasa yang luar biasa. Ia dikenal mampu berbahasa Arab, Inggris, Belanda, Jepang, bahkan Mandarin. Ini menunjukkan betapa luas cakrawala pemikirannya dan kesiapan dirinya untuk berinteraksi dengan dunia luar di masa penjajahan yang penuh tantangan.
Keterlibatan KH. Mahfudz Shiddiq dalam NU dimulai dari aktivitas kepenulisan. Ia turut berkontribusi dalam buletin “Soeara Nahdlatul Oelama”, yang menjadi cikal bakal media resmi NU. Aktivitas ini menjadi jalan bagi Mahfudz untuk menyampaikan gagasan dan pandangan keislaman yang moderat dan mencerahkan.
Tak hanya itu, Mahfudz juga aktif membangun struktur organisasi NU di berbagai daerah, menjadi salah satu motor penggerak kebangkitan pemuda NU kala itu. Pandangannya yang terbuka terhadap dinamika zaman membuatnya sering menjadi jembatan antara generasi tua dan generasi muda di lingkungan pesantren dan NU.
ada Muktamar ke-12 NU di Malang tahun 1937, KH. Mahfudz Shiddiq terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU (saat itu disebut HBNO). Usianya baru menginjak 30 tahun, menjadikannya salah satu pemimpin termuda dalam sejarah NU. Awalnya, ia menolak jabatan tersebut karena merasa belum cukup usia dan pengalaman. Namun, atas dorongan KH Hasyim Asy’ari dan restu sang ayah, ia menerima amanah besar itu.
Di bawah kepemimpinannya, NU mengalami banyak kemajuan. KH. Mahfudz Shiddiq mendorong penerbitan buku-buku keislaman seperti “Pedoman Tabligh”, serta memperkuat pendidikan kader dakwah NU. Ia juga membangun komunikasi yang baik dengan organisasi Islam lain dan pemerintah kolonial, tanpa kehilangan prinsip keislaman dan keindonesiaan yang dianut NU.
KH Mahfudz Shiddiq adalah potret pemimpin muda yang layak menjadi teladan. Ia mengajarkan bahwa usia muda bukanlah penghalang untuk memimpin, berjuang, dan berkontribusi besar bagi umat dan bangsa. Di tengah tantangan zaman kolonial dan pendudukan Jepang, ia tetap konsisten dengan nilai-nilai Islam, kebangsaan, dan keilmuan. Sosoknya akan selalu dikenang sebagai salah satu pilar penting dalam perjalanan panjang Nahdlatul Ulama.
Tinggalkan Balasan